RSS

aku takut pada rasa

aku takut pada rasa
yang membawaku terbang tinggi
aku takut pada rasa
yang memberi warna bagai pelangi
aku takut pada rasa
yang membuat bunga mekar mewangi
aku takut pada rasa 
yang sekejap mata berlalu pergi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gerimis Hari Rabu (2)


Aku berusaha mengenang dia. Aku mencoba mengingat ceritanya. Pikiranku melompat-lompat, keluar masuk memori, mencoba menggali kenangan manis waktu itu.
***
Dia hanya lelaki biasa, yang tak punya kuasa apapun, tapi dia sanggup membuat sakura berbunga pada hari-hariku. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia bisa membuat bintang-bintang berpendar terang dalam malamku. Dia bukan juga seorang malaikat, namun dia seperti punya sayap dan raga yang berbinar. Membuatku terpikat dan jatuh hati. Aah, rasanya jatuh cinta tak pernah salah.


Rabu itu aku menuju lab seperti biasa, bersama teman sambil bercanda tawa. Ringan sekali langkahku pagi itu, setelah semalam berbagi cerita dengannya. Banyak sekali yang dia kisahkan, berbicara layaknya anak bebek yang tak berhenti mengoek. Bebek, begitulah aku memanggil dia selanjutnya. Yutuk, itulah panggilan dia untukku. Kau tahu, bahagia rasanya mendengar suara dia lewat sebuah panggilan telepon yang singkat. Dari kejauhan aku melihatnya. Berjalan menuju arahku, sambil menenteng sebuah buku tebal. Kami berpapasan, melirik tapi dia hanya diam. Menyapaku pun tidak, layakya dua manusia yang tak saling kenal.

‘Iih, bebek beneran sombong’ umpatku dalam hati.

Dan itu cukup meledakkan balon kebahagiaanku, lalu menghilang. Dia memang aneh seperti yang orang katakan, tapi entah kenapa aku tetap suka. Tidak salah kan?
*
*
*
Dia berbeda dengan yang lain, hanya dia yang bisa membuat hatiku jumpalitan. Dia begitu manis, hanya dia yang bisa membuat wajahku tersenyum ceria. Dia begitu cuek, hanya dia yang bisa membuatku meneteskan air mata tak mengerti. Dengan segala yang ada padanya, aku sayang dia.


Seminggu setelah rabu itu, aku berkumpul dengan teman-teman dekatku. Asyik mencoba sebuah resep baru. Mencoba peruntungan membuat sebuah masakan. Mie gomak dan cap cay jadi menu masakan sore itu. Sederhana memang, tapi kami mencoba membuat yang paling enak tanpa bahan perasa modern. Makan bersama terasa bagitu menyenangkan, ada teman berbagi. Mungkin berbagi yang membuat rasa riang itu datang. 

Khanif, dia selalu ada dalam hatiku. Di saat paling menyenangkan dengan teman-teman seperti ini pun aku tetap mengingatnya. ‘Ah, akan ku beri dia masakan ini. Kutitipkan pada Toro, rasanya tak akan masalah’,pikirku. Dan aku benar-benar menuruti pikiran gilaku. 

Mendekati pukul 10 malam, nada sendu dari seluler merahku memecah keheningan. Pesan masuk.
 ‘Ah, Khanif pasti’, seruku dalam hati. Benar saja, itu pesan darinya.

‘Na, thanks ya masakannya. Enak semua, tapi aku lebih suka cap cay buatanmu. Andai saja suatu saat kamu bisa masak untukku tiap hari.’

Aku tak sanggup menutupi kebahagiaan yang muncul tiba-tiba. Pastilah bulan malam itu mendekapku begitu kuat. Mejalari ragaku dengan kehangatan yang tidak kurasakan sebelumnya. Melukiskan semburat merah juga senyum bahagia malam itu.
*
*
*
Dia bukan siapa-siapa. Lelaki berkharisma bukan, pemuda gagah tidak, pengusaha kaya pun belum. Dia sanggup membuatku bahagia, sesederhana senyumnya. Dia sanggup membuatku khawatir, sesederhana tidak terdengarnya sebait nada sendu dari selulerku. Apapun rasa yang muncul, aku tahu bahwa aku cinta dia.


Tiga bulan sejak rabu yang cerah, saatnya liburan semester! Pulang ke rumah nenek menjadi rutinitasku tiap liburan datang. Berdekatan dengan keluarga selalu istimewa buatku. Bagiku, aku akan selalu bisa pulang, aku akan selalu bisa menemukan rumah walaupun begitu banyak masalah di luar sana yang harus dihadapi. Rabu itu, hujan masih turun tanpa ada tanda ingin berhenti. Sebuah bait nada sendu mengganggu keasyikanku membaca novel. Siapa lagi kalau bukan dari Khanif? Tapi sungguh, isi pesannya membuatku khawtir luar biasa.

‘Aku baru saja kecelakaan. Mohon doa darimu.’

Kontan saja aku langsung menghubunginya. Syukurlah, dia hanya mengalami luka robek pada kaki kiri. Sudah dijahit, tidak terlalu parah juga tidak terlalu mengkhawatirkan.

‘Terima kasih sudah menelepon, maaf membuatmu khawatir. Aku menghubungimu karena kamu orang terdekat bagiku’, begitu ucapnya di akhir pembicaraan.

Oh, gadis mana lah yang tak girang mendengar seseorang yang dia cintai berkata seperti itu? Itulah yang aku rasakan saat itu. Walaupun hujan, hanyalah pelangi yang bisa kulihat di ujung horizon itu. Dia menganggapku penting. Itu bagiku, ilusi hati yang untai padanya. Baginya? Entahlah.
***
(bersambung)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jika

jika kau ingin aku di sampingmu,

katakan yang lantang padaku

yakinkan aku dengan sikapmu

tantang aku dengan tatapanmu


jika kau ingin aku selalu di sisi,

rangkaikan sebuah kisah yang suci

hanya untukku sendiri tapi

yang dengan cermin pun aku tak mau berbagi


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gerimis Hari Rabu (1)


Dia, terlihat kuat. Tapi aku tak mengerti apa yang ada di hatinya, rapuh atau remuk? Entahlah, dia selalu tertawa ceria. Dia memberi warna pelangi yang cerah dalam hidupku, terlebih ketika gelap coba mengungkungku setelah ibu kami meninggal. Seperti pelangi yang berwarna, seperti itu pula cerita miliknya. Dunia tidak pernah kejam pada pemerannya, selalu indah bila kita melihatnya begitu. Selalu ada cinta untuk membuatnya berubah lembut. Ya, ini memang cerita tentang cinta. Cerita ini miliknya, hanya saja ijinkan aku bercerita atas namanya..

dan kutuliskan sepotong cinta dalam sepenggal cerita

Rintik hujan masih turun dengan manja. Mengusik pagi yang terasa semakin dingin, menyisakan embun yang menggantung di kaca jendela. Aku masih nyaman dalam buaian mimpi ketika seluler merah di sampingku berkelip terang, membawa suara nyaring sebait nada sendu. Pesan masuk. Koordinator praktikum, memintaku menggantikan seseorang jaga praktikum pagi itu. Sudah 4 bulan berjalan sejak semester ini dimulai. Sejak itu lah aku mengambil tanggung jawab mengiringi pelaksanaan suatu mata praktikum. Tigapuluh menit, hanya itu waktu yang tersisa agar aku dapat sampai tepat waktu.

Aku beranjak malas. Tempat tidurku terasa hangat dan lebih bersahabat. Tapi ini kerjaku yang harus kelar. Aku lantas bersiap, seraya mengutuk orang yang melemparkan tanggung jawab padaku begitu saja.



Hariku, seperti biasa. Hari ini, sama seperti rabu sebelumnya. Berkutat dengan buku, juga mendengar penjelasan dosen selama sisa hari itu. Hanya tinggal sedikit waktu untuk bersua bersama sahabat. Berbagi cerita, tertawa bersama duduk di bawah pohon rindang. Terlalu senang, tanpa peduli orang berlalu lalang d sekitar. Tapi sebuah suara memanggil namaku. Aku memutar tubuhku, mencari sumber suara. Seorang mahasiswa yang menurutku tidak begitu tampang, tidak tinggi, cukup gagah kurasa. Kulitnya bersih, putih langsat. Khas lelaki jawa pikirku. Wajahnya begitu asing, aku tak mengenalnya. Aku tak mau tau. Kuputar tubuhku membelakanginya, kembali asyik medengar cerita sahabatku. Aku tak ingin ketinggalan gosip terbaru.

Lima hari berlalu sejak rabu itu. Pagi ini aku kembali melihat wajah asing itu. Memasang senyum ramah ketika melihatku. Siapa dia? Entah, rasanya aku tak terlalu ingin tahu. Praktikum pagi ini terlihat berbeda. Tambahan seorang asing dalam kelompokku. Terserah lah, terasa sama saja bagiku. Aku larut menuliskan laporan hasil praktikum hari itu. Membuat begitu banyak coretan hitam di atas kertas putih. Dari sudut mata, kulihat dia memperhatikan tumpukan kertasku yang mulai usang.
***
Dua minggu berlalu sejak rabu yang mendung. Pagi ini masih begitu sunyi. Matahari masih terlalu malu untuk muncul di langit timur. Seperti biasa, aku masih terbenam dalam tumpukan kertas. Laporan praktikum yang tak kunjung habis. Sebait nada sendu dari seluler merah di sudut meja kembali memecah pagiku yang sunyi. Pesan masuk, nomor tak dikenal. Pengirimnya meminta bantuanku mencetak data hasil praktikum. Khanif, begitulah dia menulis namanya di akhir pesan. Ah, akhirnya aku tau nama orang asing itu.

Enam minggu berlalu sejak rabu yang mendung. Pemuda itu mulai sering menegurku keika bertemu. Sekali, dua kali berhenti untuk sekedar saling mengatakan ‘hallo’. Beberapa kali memberanikan berbagi cerita, tentulah lewat pesan singkat yang sekarang menjadi komunikasi utama di antara kaum muda. Seperti sore ini, aku tersenyum membaca cerita tentang keponakannya, aku senang dia menceritakan harinya. Dan senyumku semakin lebar, saat dia menjanjikan sebentuk oleh-oleh dari kampung halamannya.

Entah berapa hari yang terlewat sejak rabu yang mendung itu. Hari ini aku bertemu dengan dia di sudut gedung. Senyumnya masih ramah seperti biasa, hanya saja sekarang terlihat lebih manis dan menarik. Diulurkannya kotak bambu yang dibungkus plastik putih. “Ini gethuk goreng, juga nopia khas daerahku”, begitu ucapnya. 

“Terima kasih. Lain kali jika pulang, gantian aku bawakan oleh-oleh khas daerahku untukmu.”
Kami berpisah di depan ruang tujuh. Aku membuka plastik putih pembungkusnya. Ketika selulerku bergetar. Pesan masuk darinya. “gethuk goreng dan nopia dibuat dengan bahan dasar gula jawa. Rasanya manis sekali, nanti yang makan pasti tambah manis. Sepenggal kalimatnya cukup membuat tubuhku tak karuan rasanya. Dinginnya air es dan hangatnya sinar mentari pagi seolah berlomba mendekapku. Seakan-akan bisa saja membuat tubuhku menjadi beku atau hatiku meleleh kapan pun mereka mau.



Semestinya hanya ada musim hujan dan kemarau di sini. Tapi sekarang kurasakan bunga-bunga mulai bermekaran. Berwarna warni, indah seperti musim semi penuh bunga di kota paris. Semilir angin menerpa wajahku, mengukir semburat merah di sana. Mungkin aku sudah tak waras, mungkin aku gila. Saat ini aku tahu, aku jatuh cinta pada kalimat itu.
***
(bersambung)


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gie_Cinta di Lembah Mandalawangi

"akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku"
apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu, kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin menjadi dingin)

"apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat"
"apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?"

cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
yang takkan pernah ku tahu dimana jawaban itu
bagai letusan berapi bangunkan ku dari mimpi
sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

bulan emas

aku terdiam, duduk di ujung balkon tinggi
ditemani malam yang terasa begitu sunyi
juga bintang yang berbinar tak mau mengerti
sedihnya hati mengingat kau tak lagi di sisi


aku tahu kau ada disana, begitu jauh di luar
dalam jarak yang tak mampu lagi aku kejar
aku hanya bisa bicara pada bulan emas yang bersinar
berharap kau juga bicara padaku lewat pendar yang terpancar


ataukah aku yang terlalu bodoh untuk tahu
bahwa kau tak akan pernah kembali memelukku
tapi aku ingin kau mendengar hatiku
aku begitu merindukanmu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS