Aku berusaha mengenang
dia. Aku mencoba mengingat ceritanya. Pikiranku melompat-lompat, keluar masuk
memori, mencoba menggali kenangan manis waktu itu.
***
Dia
hanya lelaki biasa, yang tak punya kuasa apapun, tapi dia sanggup membuat sakura
berbunga pada hari-hariku. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia bisa membuat
bintang-bintang berpendar terang dalam malamku. Dia bukan juga seorang malaikat,
namun dia seperti punya sayap dan raga yang berbinar. Membuatku terpikat dan
jatuh hati. Aah, rasanya jatuh cinta tak pernah salah.
Rabu
itu aku menuju lab seperti biasa, bersama teman sambil bercanda tawa. Ringan sekali
langkahku pagi itu, setelah semalam berbagi cerita dengannya. Banyak sekali
yang dia kisahkan, berbicara layaknya anak bebek yang tak berhenti mengoek. Bebek,
begitulah aku memanggil dia selanjutnya. Yutuk, itulah panggilan dia untukku. Kau
tahu, bahagia rasanya mendengar suara dia lewat sebuah panggilan telepon yang
singkat. Dari kejauhan aku melihatnya. Berjalan menuju arahku, sambil menenteng
sebuah buku tebal. Kami berpapasan, melirik tapi dia hanya diam. Menyapaku pun
tidak, layakya dua manusia yang tak saling kenal.
‘Iih,
bebek beneran sombong’ umpatku dalam hati.
Dan
itu cukup meledakkan balon kebahagiaanku, lalu menghilang. Dia memang aneh seperti
yang orang katakan, tapi entah kenapa aku tetap suka. Tidak salah kan?
*
*
*
Dia
berbeda dengan yang lain, hanya dia yang bisa membuat hatiku jumpalitan. Dia begitu
manis, hanya dia yang bisa membuat wajahku tersenyum ceria. Dia begitu cuek,
hanya dia yang bisa membuatku meneteskan air mata tak mengerti. Dengan segala
yang ada padanya, aku sayang dia.
Seminggu
setelah rabu itu, aku berkumpul dengan teman-teman dekatku. Asyik mencoba
sebuah resep baru. Mencoba peruntungan membuat sebuah masakan. Mie gomak dan
cap cay jadi menu masakan sore itu. Sederhana memang, tapi kami mencoba membuat
yang paling enak tanpa bahan perasa modern. Makan bersama terasa bagitu
menyenangkan, ada teman berbagi. Mungkin berbagi yang membuat rasa riang itu
datang.
Khanif,
dia selalu ada dalam hatiku. Di saat paling menyenangkan dengan teman-teman
seperti ini pun aku tetap mengingatnya. ‘Ah, akan ku beri dia masakan ini. Kutitipkan
pada Toro, rasanya tak akan masalah’,pikirku. Dan aku benar-benar menuruti
pikiran gilaku.
Mendekati
pukul 10 malam, nada sendu dari seluler merahku memecah keheningan. Pesan masuk.
‘Ah, Khanif pasti’, seruku dalam hati. Benar
saja, itu pesan darinya.
‘Na,
thanks ya masakannya. Enak semua, tapi aku lebih suka cap cay buatanmu. Andai saja
suatu saat kamu bisa masak untukku tiap hari.’
Aku
tak sanggup menutupi kebahagiaan yang muncul tiba-tiba. Pastilah bulan malam
itu mendekapku begitu kuat. Mejalari ragaku dengan kehangatan yang tidak
kurasakan sebelumnya. Melukiskan semburat merah juga senyum bahagia malam itu.
*
*
*
Dia
bukan siapa-siapa. Lelaki berkharisma bukan, pemuda gagah tidak, pengusaha kaya
pun belum. Dia sanggup membuatku bahagia, sesederhana senyumnya. Dia sanggup
membuatku khawatir, sesederhana tidak terdengarnya sebait nada sendu dari
selulerku. Apapun rasa yang muncul, aku tahu bahwa aku cinta dia.
Tiga
bulan sejak rabu yang cerah, saatnya liburan semester! Pulang ke rumah nenek
menjadi rutinitasku tiap liburan datang. Berdekatan dengan keluarga selalu
istimewa buatku. Bagiku, aku akan selalu bisa pulang, aku akan selalu bisa
menemukan rumah walaupun begitu banyak masalah di luar sana yang harus
dihadapi. Rabu itu, hujan masih turun tanpa ada tanda ingin berhenti. Sebuah
bait nada sendu mengganggu keasyikanku membaca novel. Siapa lagi kalau bukan
dari Khanif? Tapi sungguh, isi pesannya membuatku khawtir luar biasa.
‘Aku
baru saja kecelakaan. Mohon doa darimu.’
Kontan
saja aku langsung menghubunginya. Syukurlah, dia hanya mengalami luka robek
pada kaki kiri. Sudah dijahit, tidak terlalu parah juga tidak terlalu
mengkhawatirkan.
‘Terima
kasih sudah menelepon, maaf membuatmu khawatir. Aku menghubungimu karena kamu
orang terdekat bagiku’, begitu ucapnya di akhir pembicaraan.
Oh,
gadis mana lah yang tak girang mendengar seseorang yang dia cintai berkata
seperti itu? Itulah yang aku rasakan saat itu. Walaupun hujan, hanyalah pelangi
yang bisa kulihat di ujung horizon itu. Dia menganggapku penting. Itu bagiku,
ilusi hati yang untai padanya. Baginya? Entahlah.
***
(bersambung)